Minggu, 15 Juli 2018

KASUS MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN SENGKETA EKONOMI

PENJUAL BAKSO DAGING CELENG 
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pedagang daging giling terbukti menjual daging celeng yang disamarkan sebagai daging sapi. Daging giling itu biasa digunakan untuk bahan baku bakso. "Sudah diperiksa di laboratorium, hasilnya memang benar itu daging celeng," kata Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Barat, Pangihutan Manurung, Senin, 5 Mei 2014.
Menurut Pangihutan, instansinya mendapat laporan tentang penjualan daging celeng di di Jalan Pekojan III Tambora, Jakarta Barat. Penjualnya bernama bernama Sutiman Wasis Utomo, 55 tahun. "Laporannya pekan lalu, dan langsung kami tindaklanjuti," kata Pangihutan. 
Sutiman selama ini dikenal sebagai pengusaha rumahan yang menjual bakso olahan untuk penjual bakso keliling. Sehari setelah laporan masuk, seorang pegawai Suku Dinas Peternakan membeli bakso tersebut dan memeriksanya di laboratorium. Hasil pemeriksaan menyatakan daging bakso itu mengandung daging babi hutan atau celeng. 
Kepada para anggota tim pengawasan dari Suku Dinas Peternakan, Sutiman mengaku membeli daging tersebut dari seorang lelaki bernama John, yang berdomisili di Cengkareng, Jakarta Barat. Anggota tim saat ini sedang melacak arus distribusi bakso olahan Sutiman.
Menurut Pangihutan, daging celeng yang dijual Sutiman tak melalui pengawasan oleh Suku Dinas Peternakan. Celeng tersebut diburu di berbagai daerah di Pulau Jawa dan langsung dipasarkan secara terselubung. "Tak ada jaminan daging yang dipasarkan itu sehat dan layak dikonsumsi," katanya.
Atas perbuatan tersebut, Dinas Peternakan melaporkan Sutiman ke Polsek Penjaringan. Dia dijerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sutiman dianggap menipu konsumen karena tak menyebutkan bahan baku sebenarnya dan mengabaikan standar kesehatan. "Dia melanggar karena tak melewati proses pengawasan dengan menggunakan babi dari rumah potong dan berterus terang kepada pembeli," kata Pangihutan. 
SOURCE : https://metro.tempo.co/read/1081699/disperindag-sita-1-ton-buah-semangka-berbusa-di-swalayan-bogor






Kasus Freeport, Apakah Arbitrase Jalan Terbaik 
JAKARTA, KOMPAS.com - Kemelut kasus kontrak karya PT Freeport Indonesia membuat perusahaan induknya, Freeport McMoran Inc dan pemerintah Indonesia sama-sama ingin menempuh jalur arbitrase. Apakah arbitrase jalan terbaik bagi kasus ini? Pakar hukum bisnis memiliki pandangan tersendiri. Sartono, Partner di kantor hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP) mengatakan bahwa dalam menyelesaikan suatu sengketa, selalu jalan terbaik adalah menyelesaikan secara damai melalui negosiasi-negosiasi. Tujuannya adalah agar dapat dicapai titik temu yang mengakomodir kepentingan kedua belah pihak. Menurut dia, perlu dipertimbangkan bahwa sengketa melalui pengadilan atau forum arbitrase akan menyita waktu, tenaga, fikiran dan biaya yang tidak sedikit, belum lagi faktor-faktor lainnya yang mungkin timbul akibat sengketa tersebut. "Oleh karena itu, menurut kami jalan terbaik untuk penyelesaian kontrak karya Freeport ini adalah dengan melakukan negosiasi untuk mencari titik temu antara pemerintah dan Freeport," ujar Sartono, yang juga mengepalai bidang Litigasi di HPRP melalui keterangan tertulis ke Kompas.com, Selasa (21/2/2017). Namun, lanjut Sartono, ketentuan peraturan perundangan harus tetap dijunjung tinggi. Pemerintah juga harus melaksanakan aturan perundangan secara konsisten dan adil terhadap semua pihak. "Jika memang penyelesaian secara damai tidak dapat dicapai, maka penyelesaian melalui forum arbitrase atau pengadilan merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh," tulisnya.   Aspek Hukum Sartono mengatakan, jika dilihat dari aspek hukum, kasus kontrak karya Freeport sangat menarik dan begitu banyak aspek yang harus diperhatikan. Antara lain hak dan kewajiban masing-masing pihak, keberlakuan dari kontrak karya tersebut jika dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diterbitkan oleh pemerintah. "Belum lagi aspek tenaga kerja yang perlu pula diperhatikan," kata dia. Kombinasi permintaan perpanjangan sebelum waktunya dan keharusan mematuhi ketentuan perundangan baru menambah komplikasi kasus ini. "Menurut kami, sangat penting untuk melihat dan mempertimbangkan kasus ini secara hati-hati," pungkas Sartono. Seperti diketahui, berdasarkan UU Minerba, PT Freeport Indonesia (PTFI) harus bersedia mengubah status kontraknya di Indonesia dari Kontrak Karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Pemerintah Indonesia juga melarang Freeport untuk mengekspor konsentratnya jika status Freeport Indonesia belum menjadi IUPK. Freeport McMoran Inc menganggap pemerintah Indonesia berlaku tak adil karena menerbitkan aturan yang mewajibkan perubahan status Kontrak Karya ke IUPK. Sebagai reaksi perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) tersebut, Presiden Direktur Freeport McMoran Inc, Richard Adkerson berencana membawa permasalahan tersebut ke penyelesaian sengketa di luar peradilan umum (arbitrase) jika tak kunjung menemui kata sepakat.
SOURCE :https://ekonomi.kompas.com/read/2017/02/21/125432026/kasus.freeport.apakah.arbitrase.jalan.terbaik.